About the Baby Blues

Hello happy readers,

     Lama nggak muncul nih si mameh, padahal harusnya tanggal 4 Juli lalu posting #nuliskompakan ke-2, judulnya Baby Blues. Sampai tanggal belasan Juli sekarang ini baru posting lagi. Alasannya sebetulnya klasik, Sera batuk pilek awal Juli lalu. Pas anak lagi sakit pasti ibu-ibu ngalamin gimana rasanya kan?! Bener banget, ada sedihnya pas anak rewel, ada capeknya karena kurang tidur, kesel iya waktu si anak susah makan, dan drama-drama lainnya. Boro-boro buka laptop, anaknya nempel melulu. Huehehe...

     Kebetulan lagi, Baby Eureka-nya Shofa juga lagi sakit dalam waktu yang berdekatan.  Kok bisa ya? Apa efek proyek nulis kompakan, jadi sakitnya bisa kaya janjian juga? Yang pasti, karena alasan anak lah kita sama-sama kompak menunda tulisan sampai keriweuhan itu berakhir.  

     Alhamdulillah, Sera sekarang sudah sehat lagi jadi mameh bisa nge-Blog! Huaa senangnyaa.... *nyalain petasan*

     Adakah yang pernah mengalami Baby Blues? Istilah Baby Blues sendiri artinya perasaan sedih, tertekan, marah, atau gangguan mood pasca melahirkan. Penyebabnya antara lain hormonal, perubahan fisik, juga psikologis sebagai bentuk penyesuaian terhadap peran baru sebagai seorang ibu.  Sebetulnya sebagian besar ibu pernah mengalami baby blues sekitar 80 persen terutama pada kelahiran anak pertama.  Tapi nggak perlu cemas, karena peristiwa baby blues pada ibu termasuk normal.  Seiring waktu perasaan-perasaan tersebut akan berangsur pulih sekitar seminggu sampai tiga minggu.

     Menurut pakar parenting, dr. William Sears dan Martha Sears dalam buku The Baby Book menjelaskan cara mencegah baby blues seperti di bawah ini.

     Saat melahirkan tiba, para ibu dapat banyak ucapan selamat dari orang-orang di sekelilingnya sebagai perayaan berubahnya status jadi seorang ibu.  Sebab menjalani hal tersebut merupakan pengalaman luar biasa. Perjuangan sembilan bulan mengandung, menjalani proses mual, ngidam, ada yang sampai harus bed rest, dan berbagai pengalaman khas hamil lainnya (rasanya seru banget, ya moms). Setelah perjuangan selama 9 bulan tersebut, maka seorang ibu pantas dapat ucapan selamat.

     Namun euforia itu segera berakhir lalu muncul problem paska kelahiran yaitu adaptasi menjalani peran baru sebagai seorang ibu.  Pertama, si ibu akan mengalami proses penyembuhan luka sayatan (episiotomi) atau luka bekas caesar. Melawati proses melahirkan yang melelahkan dan memakan waktu menguras tenaga si ibu. Seorang 'newly mother' butuh waktu mengembalikan kondisi seperti semula dengan banyak istirahat dan tidur.

     Kedua, saat si ibu baru pulang ke rumah. Di sinilah awal masa-masa baby blues dimulai.  Si ibu menganggap setelah melahirkan, dia harus kembali mengerjakan rutinitas pekerjaan-pekerjaan di rumah sambil mengurus bayi. Padahal menurut dr. Sears ibu tidak perlu begitu. 

     Tugas ibu hanyalah fokus pada pemulihan dirinya dan bayinya. Itu saja. 

     Kalau si ibu tetap melakukan kebiasaan mengerjakan pekerjaan rumah tangga setelah melahirkan, akan menguras energi si ibu. Kelelahan salah satunya bisa menyebabkan baby blues.  Sementara bayi baru lahir akan selalu menuntut si ibu memenuhi kebutuhannya. 

     Masih menurut dr. Sears, si ibu harus fokus pada tugas utama ini kurang lebih selama satu bulan penuh. Untuk tugas-tugas lain sebaiknya diserahkan atau bagi tugas dengan suami dan anggota keluarga di rumah. Kalau memiliki anak-anak lainnya, beri mereka pengertian kalau memerlukan sesuatu bisa ke ayah. Dr. Sears dan istrinya Martha juga melakukan hal serupa pada kedelapan anak-anak mereka.  Tugas Martha hanya mengurus bayi dan tidak melakukan pekerjaan apapun.  Sementara dr. Sears mengurus anak-anaknya yang lain.  

     Kalau saya, alhamdulillah nggak ngalami baby blues waktu melahirkan Sera. Penyebabnya mungkin mental saya saat itu bisa dibilang udah siap menghadapi perubahan jadi seorang ibu (ceileh, si mameh sombonk...). Cara persiapan saya misalnya banyak baca buku, cari info di internet, unduh aplikasi kehamilan di smartphone, dan tanya sebanyak mungkin pengalaman orang lain.  

     Selain persiapan mental, juga ada dukungan dari keluarga terdekat. Waktu lahiran dulu saya masih tinggal sama orangtua, enak banget.  Urusan pekerjaan rumah sudah terbagi sama adik-adik lalu ibu yang bertugas masak.  Kalau cuci baju Sera saya yang lakuin sendiri.  Pas suami pulang akhir pekan, baru bagi tugas ganti popok, gendong, dan ajak main.  Jadi saya bisa istirahat sambil chit chat, BBM-an sama temen-temen.
     
     Gimana kalau ibu-ibu baru lahiran yang merantau cuma tinggal berdua sama suami ya?  Ngalamin baby blues juga nggak sih? Kan kebayang ya, lingkungan baru perlu adaptasi, terus jalanin rutinitas sebagai ibu baru, pas suami kerja si ibu di rumah sendirian sama bayi itu gimana ya cerita keseruannya? Kalau Teman-teman ada yang punya pengalaman, sharing dong... 

     Last but not least, baby blues memang wajar jadi nggak perlu terlalu khawatir. Kalau memang terjadi, si ibu mengalami perasaan marah, sedih, kesal, mood nya naik turun, baiknya langsung komunikasikan ke suami dan keluarga terdekat (We are not superwoman, dear).  Supaya bisa ada kerjasama, berbagi tugas misalnya biar Ibu bisa istirahat dan fit kembali.  Kalau yang suka memanjakan diri ke salon nggak ada salahnya 'me time' seperti relaksasi, pijat, creambath, meni pedi, dll.  Atau seperti saya, ngobrol sama temen-temen via whatsapp atau BBM. Intinya banyak rileks, rileks, rileks. Cari hal yang bikin happy, happy, happy.

    Thanks for reading, dear Happy readers...


Ruang makan, sambil nahan ngantuk habis subuhan.
14 Juli 2015