Ibu Bekerja atau di Rumah, Sama Saja

Hello happy readers,

Mengawali postingan ini dengan pertanyaan, mana lebih baik ibu bekerja atau di rumah? Ayo, kalau menurut Teman-teman gimana? Berbagi cerita di komentar yuk...

Tema nulis kompakan berikutnya yaitu tentang SAHM (stay at home mom) dan WM (working mom).  Mau memilih bekerja atau jadi ibu rumah tangga sudah jadi pertanyaan umum yang mengundang pergolakan batin. Halah.

Dulu sebelum menikah, saya pernah bekerja di satu lembaga swasta bergerak di bidang kesehatan reproduksi remaja yaitu Mitra Citra Remaja (MCR). Lebih tepatnya MCR berada di bawah naungan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Barat.

Setelah 6 bulan bekerja, saya dikenalkan seseorang yang sedang cari pendamping. Lalu kami saling tukar CV, ketemuan sekali dan langsung melamar.  Singkat, padat, dan cepat perkenalan kami ini. Pada waktu itu calon suami punya prinsip boleh istrinya bekerja asal tidak mengganggu pekerjaan rumah tangga.

Perasaan saya waktu itu, happy sekaligus galau tingkat tinggi.

Dilema antara truskan bekerja, atau resign?  Saya bayangkan setelah menikah nanti, waktu akan terbagi jadi dua antara keluarga dan pekerjaan. Muncul rasa khawatir tidak bisa maksimal buat keluarga kalau saya tetap memutuskan bekerja.

Selain itu, saya juga punya mimpi setelah menikah ingin jadi ibu rumah tangga. Kayanya lebih enak gitu jadi ibu rumah tangga, pikir saya. 

Kemudian saya memutuskan resign.

Waktu saya minta ijin resign ke bapak pimpinan PKBI, beliau kaget dan tidak sependapat sama keputusan saya. Beliau bilang, "Sebetulnya berkeluarga itu tidak harus menghalangi bekerja.  Begitupun sebaliknya."

Perdebatan cukup alot, namun akhirnya saya diijinkan meninggalkan MCR. Hal yang paling sedih saat resign adalah hilangnya kebersamaan bareng teman-teman MCR, my partners in crime. Ah sedih, pisah sama teman-teman yang sudah saya anggap keluarga sendiri. 

Singkat cerita, saya menikah, lalu hamil, melahirkan, dan membesarkan Sera sebagai ibu rumah tangga.

Dalam benak saya setelah memutuskan jadi ibu rumah tangga, semua berjalan seperti yang saya inginkan. Anak yang bisa duduk manis, nurut sama ibu ayahnya, pekerjaan rumah bisa beres dilakukan dengan senang hati, bisa berdandan untuk suami, dan masak masakan kesukaan suami.

Namun apa yang saya rasakan tidak seindah itu. Saat saya pindah ke Tangsel pada tahun 2012 bersama keluarga kecil saya, ini yang terjadi:

• Anak nempel terus, nggak boleh saya ngapa-ngapain, bahkan buat mandi aja susah. 
• Pekerjaan rumah terbengkalai. Dengan anak yang maunya sama saya terus, saya kesulitan buat menyapu, ngepel dan cuci baju. Untung suami mau ikut berbagi pekerjaan rumah.
• Berdandan untuk suami, boro-boro. Rambut acak-acakan, diikat poni, baju daster berkancing untuk siap kala harus menyusui Sera. 
• Cuci baju di ekspor ke laundry dan sebagian dicuci sama suami di rumah. 
• Nyetrika hanya baju kantor suami dan bajunya sera. Sisanya dilipat aja.
• Masak gimana dong? Ya telepon, pesen katering rumahan. Saya cuma masak sarapan, dan menu andalan adalah sop ayam. 

So, gimana rasanya jadi ibu rumah tangga?

Sumpah, ini pekerjaan paling berat dari pekerjaan saya waktu kerja dulu. Luar biasa. Kerjanya 24 jam, 7 hari seminggu, dan nggak ada cuti.  That was make me almost crazy.

Tiap hari saya mengeluh ke suami, Sera nggak mau begini, nggak mau begitu, nggak bolehin saya begini dan begitu. Sosok Sera waktu kecil adalah anak yang punya energi banyak. Dia menghabiskan hari-harinya main baca buku, main flashcard, balok, boneka, menggambar dan nonton youtube. Dia sering gonta ganti mainan tapi gampang banget bosan, dan kalau saya jauh walau setengah meter dia bisa meledak tangisnya. 

Kondisi tadi membuat saya hampir nggak ada waktu buat diri sendiri. Akhirnya  saya minta bala bantuan, adik-adik saya. Ada 3 adik yang bisa dimintai tolong. Mereka saling gantian siapa yang sedang nggak ada kegiatan di Bandung, supaya datang ke rumah untuk main sama Sera. Biar saya bisa sedikit bernapas.

Ibu rumah tangga macam apa saya ini? Ya saya mah memang begini orangnya. Gampang menyerah dan cengeng (ngaku).

Untung suami paham dan ngerti posisi saya seperti apa.  Nggak banyak menuntut karena beliau lihat profil 'unik' Sera dan kebutuhan dekat sama saya lebih besar.

**

Satu waktu di rumah Sera nggak mau makan, nggak mau mandi dan nggak membolehkan saya ngapa-ngapain. Saya belum sarapan waktu itu harus temani Sera main. Dalam kondisi lapar, sementara Sera (menurut saya saat itu) menyebalkan banget lalu saya terbawa kesal, saya marah dan nangis deh dia. 

Sore harinya saya telepon ibu, curhat ceritanya.

"Ibu... Sera begini begitu... Kesel banget... Capeee... " sembari berlinang air mata.

Ibu dengar curhatan saya dari A-Z, selama puluhan menit.

Lalu tiba giliran ibu bicara, "Teh Ghina, harus bersyukur jadi ibu rumah tangga. Gimanapun susahnya anak, itu anak sendiri. Coba kalau di posisi ibu, sekarang. Ibu kerja tiap hari, ninggalin anak di rumah, ngajar anak-anak di sekolah. Ada murid yang nggak mau nurut, kabur pas pelajaran, asik ngobrol pas ibu lagi di di depan kelas... Belum hubungan dengan rekan kerja, atasan, pasti ada aja masalah mah."

Deg, saya melongo.  Tadinya mau curhat eh malah balik ibu yang curhat. Speechless. 

Bukannya dulu saya yang minta sama Allah, ingin jadi ibu rumah tangga?! Kenapa pas Allah sudah kasih saya malah nggak bersyukur, ngeluh habis-habisan?

Astaghfirullah.

Keluhan membuat saya nggak bisa melihat sisi baik lain yang saya miliki.

**

Kesimpulan saya adalah ibu bekerja dan ibu rumah tangga, sama saja kalau dilihat dari segi tantangan dan masalah. Namanya juga kehidupan tidak akan pernah lepas dari ujian. 

Masing-masing punya lahan ibadah sendiri-sendiri, 

Apapun keputusan kita sebagai ibu di rumah atau ibu bekerja, harus bisa memaksimalkan peran yang dijalani. Peringatan buat diri sendiri, stop mengeluh.

Sekarang, saya masih ibu rumah tangga, dan sudah punya asisten rumah tangga. Lumayan pekerjaan rumah bisa terbantu. Namun walaupun sudah ada asisten, Sera masih nempel sama saya di usianya yang hampir 4 tahun. Jadi untuk urusan Sera sih nggak berubah.

Ujian, pasti ada saja, tapi berkaca dari pengalaman di atas saya harus selalu bersyukur dan happy bagaimanapun susah kondisinya. 

Hmm, rumput tetangga memang selalu lebih hijau, kan?!